SUNAN GUNUNG JATI (1479 M – 1568 M )
Dikisahkan Ki Gedeng Sedhang Kasih,
sebagai kepala Nagari Surantaka, bawahan Kerajaan Galuh. Ki Gedeng Sedhang
Kasih, yang merupakan adik Raja Galuh, Prabu Anggalarang, memiliki puteri
bernama Nyai Ambet Kasih. Puterinya ini dinikahkan dengan Raden Pamanah Rasa,
putra Prabu Anggalarang.
Sementara
itu di Nagari Singapura, tetangga Nagari Surantaka, diadakan sayembara untuk
mencari jodoh bagi putri Ki Gedeng Tapa, Mangkubumi Singapura
Ternyata Raden Pamanah Rasalah yang
memenangkan sayembara itu, sehingga ia menikahi sang puteri yang bernama
Nyai Subang Larang. Dari perkawinan ini lahirlah tiga orang anak yaitu Raden
Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan KIAN Santang (Raja Sangara).
Setelah
ibunya meninggal, Raden Walangsungsang pergi meninggalkan keraton, disusul
kemudian oleh Nyai Lara Santang. Keduanya tinggal di rumah pendeta Budha, Ki
Gedeng Danuwarsih yang memiliki seorang puteri cantik bernama Nyai Indang Geulis.
Raden Walangsungsang kemudian menikahi puteri pendeta ini dan setelah itu
mereka pergi berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi. Raden Walangsungsang
diberi nama baru yaitu Ki Samadullah, dan kelak sepulang dari tanah suci
diganti nama menjadi Haji Abdullah Iman. Setelah tamat belajar di
pesantren Syekh Datuk Kahfi, Raden Walangsungsang dianjurkan oleh gurunya untuk
membuka daerah baru yang diberi nama Tegal Alang-alang atau Kebon Pesisir, di
mana tinggal paman Nyai Indang Geulis.
Raden
Walangsungsang alias Ki Samadullah berhasil menarik para pendatang. Daerah
Tegal Alang-alang berkembang dan banyak didatangi oleh orang-orang Sunda,
Jawa, Arab, dan Cina, sehingga
disebutlah daerah ini “Caruban” artinya campuran. Di tempat ini bukan hanya
berbagai etnis bercampur, agama juga bercampur. Misalnya saja, Ki Gedeng
Danusela yang beragama Budha sebagai “kuwu” bercampur dengan Raden
Walangsungsang yang beragama Islam sebagai “pangraksabumi” yaitu pejabat yang
mengurusi pertanian dan perikanan, sehingga ia digelari Ki Cakrabumi.
Atas
saran gurunya, Raden Walangsungsang pergi ke tanah suci bersama adiknya, Nyai
Lara Santang, karena Nyai Indang Geulis sedang hamil tua. Di tanah suci inilah,
Nyi Lara Santang menikah dengan Maulana Sultan Muhamad, bergelar Syarif
Abdullah keturunan Bani Hasyim putra Nurul Alim. Suami Nyai Lara Santang ini
adalah anak penguasa Kota Ismailiyah dekat
wilayah Palestina sekarang, yang menjadi bawahan Mesir. Nyai Lara Santang
pun diganti namanya menjadi Syarifah Mudaim. Dari perkawinan ini lahirlah
Syarif Hidayatullah pada tahun 1448 M yang kelak menjadi Sunan Gunung Jati.
Dilihat dari genealogi dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Syarif
Hidayatullah yang nantinya menjadi salah seorang dari Wali sanga, menduduki
generasi ke-22 dari Nabi Muhammad. Selang 2 tahun kemudian lahir adiknya yang
bernama Syarif Nurullah pada tahun 1450 M,
Setelah perkawinan adiknya, Ki
Samadullah yang bergelar Haji Abdullah Iman memutuskan kembali ke Jawa dengan
maksud mengembangkan agama Islam di tanah leluhurnya. Setibanya di tanah air,
ia mendirikan Masjid Jalagrahan, dan kemudian mem-buat rumah besar yang
nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Di sanalah ia meneruskan tugasnya sebagai
pembantu Ki Danusela, Kuwu Caruban. Setelah Ki Danusela meninggal, Ki
Samadullah diangkat menjadi Kuwu Caruban dan digelari Pangeran Cakrabuana
Pakuwuan Caruban kemudian ditingkatkan menjadi
Nagari Caruban Larang. Dengan demikian Pangeran Cakrabuana menjadi penguasan
nagari yang juga merangkap ulama. Selanjutnya ia mendapat gelar dari
ayahandanya, Prabu Siliwangi, sebagai Sri Mangana. Selanjutnya
diceritakan bahwa Syarif Hidayatullah yang dibesarkan di negara ayahnya,
setelah berusia 20 tahun pergi berguru kepada beberapa ulama di Mekah dan
Bagdad selama beberapa tahun. Setelah itu ia kembali ke negeri ayahandanya.
Ketika ayahnya meninggal dunia, ia diminta menggantikan posisi ayahnya, tetapi
permintaan itu ditolaknya. Bahkan dimintanya adiknya yang bernama Nurullah,
menggantikan dirinya. Ia sendiri memilih untuk pergi ke Jawa guna menyebarkan
agama Islam. Tokoh Syarif Nurullah ini, dalam salah satu sumber disebutkan
bahwa beliau merantau ke negeri tetangga Indonesia yaitu Malaysia untuk
menyebarkan agama Islam yang sekarang menjadi kerajaan Kelantang.
Dalam
perjalanannya ke Jawa, Syarif Hidayatullah singgah di Gujarat selama beberapa
waktu, kemudian singgah pula di Pasai dan tinggal di rumah seorang ulama
bernama Syarif Ishak. Setelah beberapa lama, Syarif Hidayatullah meneruskan
perjalanannya dan singgah di Banten yang waktu itu penduduknya ada yang sudah
beragama Islam, berkat syiar yang dilakukan Sunan Ampel. Syarif Hidayatullah
merasa sangat tertarik untuk belajar kepada wali yang berasal dari Jawa Timur
ini. Ketika Sunan
Ampel
pulang, Syarif Hidayatullah ikut pergi ke Ampel dan tinggal di sana untuk
memperdalam soal syiar Islam dari Sunan Ampel. Dengan persetujuan Sunan Ampel
dan para wali lainnya yang tergabung dalam Wali Sanga, Syarif Hidayatullah diminta
untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Pergilah ia ke Caruban Larang dan
bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana.
Syarif
Hidayatullah tiba di pelabuhan Muara Jati kemudian terus ke Desa
Sembung-Pasambangan, dekat Giri Amparan Jati, pada tahun 1470 M. Di sana ia
mengajar agama Islam menggantikan Syekh Datuk Kahfi yang telah meninggal dunia.
Perlahan-lahan ia menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat yang
menganggapnya sebagai orang asing dari Arab. Ia kemudian digelari Syeh Maulana Jati
atau Syeh Jati.
Syarif
Hidayatullah mengajar juga di Dukuh Babadan. Di sana ia menemukan jodohnya
dengan Nyai Babadan puteri Ki Gedeng Babadan pada tahun 1471 M. Tidak lama
kemudian pada tahun 1477 M isterinya sakit dan meninggal dunia ( dari sumber buku Cerita Purwaka Caruban
Nagari beliau tidak dikaruniai putra
namun dari sumber lain buku Kerajaan Cerbon 1479-1568 M tulisan Rd.H. Unang Sunardjo, SH mempunyai dua anak
yaitu Pangeran Trusmi dan Ratu Martasari).
Syarif
Hidayatullah kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam di sana.
Ternyata Bupati Kawunganten yang keturunan Pajajaran sangat tertarik, sehingga
ia masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperisteri. Terjadilah pernikahan
pada tahun 1475 M dan memiliki seorang putra dan seorang putri yaitu Ratu
Winaon lahir tahun 1477 M dan Pangeran Sabakingkin lahir tahun 1479 M yang
kelak dikenal sebagai Maulana Hasanudin pendiri Kerajaan Banten.
Syarif
Hidayatullah kemudian menikah lagi dengan Nyi Mas Pakungwati puteri Pangeran
Cakrabuana pada tahun 1478 M. Jadi ini merupakan pernikahan dengan saudara
sepupu sendiri. Dari perkawinan ini beliau tidak dikaruniai keturunan.Nyi Mas
Pakungwati yang cantik meninggal saat berusaha membantu memadamkan api yang
melalap Masjid Sang Ciptarasa tahun 1549 M.
Sementara
itu Pangeran Cakrabuana meminta agar Syarif Hidayatullah menggantikan
kedudukannya dan Syarif Hidayatullah pun kembali lagi ke Caruban. Pada tahun
1479 M beliau dinobatkan oleh uwaknya sebagai kepala nagari dan digelari
Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban (Ingkang Sinuhun Kanjeng
Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awliya Allah Kutubid Jaman Khalifatur
Rasulullah Saw.). penobatan ini merupakan pengumuman dewan Wali Sanga kepada
ulama dan mubalig se pulau jawa. Sedangkan Pangeran Cakrabuana mengemban
sebagai Manggala Yudha dengan gelar Gagak Lumayung.
Pada
tahun 1481 M beliau menikah dengan Ong Tien Nio. Ong Tien Nio diberi gelar Ratu
Mas Rara Sumanding atau Ratu Petis yang hingga ajalnya tahun 1485 M beliau
mengasuh putra Adipati Luragung yaitu Pangeran Aria Kemuning yang kelak menjadi
pendiri kota Kuningan.
Pada tahun 1484 M, beliau
menikah dengan Nyi Rara Baghdad adik
Pangeran Panjunan, putri Maulana Abdullrahman Al-Baghdadi, dari perkawinan
ini mendapatkan 2 orang anak. Yang
pertama adalah Pangeran Jayakelana lahir tahun 1486 M, yang menikah dengan
keluarga Demak, putri Raden Patah yang bernama Ratu Pembayun. Sementara putra
kedua, Pangeran Bratakelana lahir tahun 1489 , juga menikah dengan anak Raden
Patah yang lain, yakni Ratu Nyawa. Yang setelah kematiannya dalam pertarungan
melawan bajak laut sepulang dari Demak, kemudian diperistri oleh saudaranya,
Pangeran Pasarean.
Tahun 1490, beliau menikah
dengan Nyi Ageng Tepasari, Putri Ki
Ageng Tepasan, salah seorang pembesar Majapahit yang telah menjadi keluarga
Demak setalah Majapahit runtuh. Seorang perempuan yang dinikahinya di Demak,
bersamaan dengan kedatangannya dalam pembangunan Masjid Demak. Dan inilah konon
awal dari hubungan kekeluargaan antara Demak dan Cirebon mulai terjalin. Dari
pernikahannya beliau mendapatkan 2 orang
anak, yakni Pangeran Moh Arifin (Pasarean) lahir tahun 1495 M dan Ratu Wulung
Ayu lahir tahun 1511 M.
Dan hubungan makin terjalin erat
dengan Demak, karena Ratu Wulung Ayu pun menikah dengan Pati Unus yang kemudian
menjadi raja Demak kedua menggantikan ayahnya, Raden Patah. Sementara Pangeran
Pasarean juga menjalin hubungan keluarga dengan Demak, karen menikai putri
Raden Patah yang lain, Ratu Nyawa, yang sebelumnya adalah janda dari Pangeran
Bratakelana, anak Syarif Hidayatullah dengan Nyi Rara Baghdad. Jadi pahamlah,
mengapa Demak dan Cirebon mempunyai hubungan dekat. Yang pertama tentu karena
kesamaan kedudukannya. Demak adalah penerus dari takhta Majapahit yang telah hancur,
dan Cirebon yang adalah penerus dari takhta Pajajaran yang telah runtuh.
Raden Patah adalah keturunan dari Kertabumi, raja Majapahit terakhir, sementara
Sunan Gunung Jati adalah cucu dari Prabu Siliwangi, raja Pajajaran terakhir.
Pada
tahun 1528 pangeran walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana wafat, dan semenjak
itu Syarif Hidayatullah menyerahkan pemerintahan kepada anaknya yaitu Pangeran
Moh Arifin (Pangeran Paserean) , sedang beliau mandeg pandito berkeliling dalam
aktifitasnya dakwahnya, beliau mewakilkan seluruh kegiatan politik dan
pemerintahannya kepada Faletehan.
Pada
tahun 1568 hari Jum’at Kliwon tengah malam Syarif Hidayatullah wafat dalam usia
120 tahun. Masa kejayaan pemerintahannya dibangun selama 89 tahun, antara 1479
M – 1568 M. selama itu beliau tampil sebagai pemimpin tertinggi dalam pemerintahan dan politik, juga sebagai
Panatagama yang dalam struktur birokrasi keraton jawa bergelar Senopati Ing
Ngalaga.
Beliau juga sebagai pemimpin
spiritual dengan gelar Sayidin Penatagama yang secara ringkas di Cirebon
disebut Pandita Ratu atau Raja Pandita yang bertugas membela integritas hokum,
mengontrol sumber kesaktian dan penyalur inspirasi Ilahiyah yang disebarkan
kepada masyarakat.
Begituh
sekilas cerita sejarah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang tidak
semua informasi dari sumber tulisan masuk dalam tulisan ini, semoga tulisan ini
menjadi pembanding/pelengkap cerita sejarah Sunan Gunung Jati sebelumya. Wallahu
‘alam Bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar