Translate

Senin, 10 Juni 2013

Cerita Sunan Gunung Jati





            SUNAN GUNUNG JATI (1479 M – 1568 M )
Dari sumber-sumber historiografi tradisional dapat dikemukakan ringkasan kisah tentang Sunan Gunung Jati , salah satunya yang banyak diambil dari tulisan Cerita Purwaka Caruban Nagari yang ditulis oleh Pangeran Arya Charbon tahun 1730 M. Beliau menulis berdasarkan tulisan paman beliau yaitu Pangeran Wangsakerta berjudul Negara Kretabhumi.

Dikisahkan Ki Gedeng Sedhang Kasih, sebagai kepala Nagari Surantaka, bawahan Kerajaan Galuh. Ki Gedeng Sedhang Kasih, yang merupakan adik Raja Galuh, Prabu Anggalarang, memiliki puteri bernama Nyai Ambet Kasih. Puterinya ini dinikahkan dengan Raden Pamanah Rasa, putra Prabu Anggalarang.
Sementara itu di Nagari Singapura, tetangga Nagari Surantaka, diadakan sayembara untuk mencari jodoh bagi putri Ki Gedeng Tapa, Mangkubumi Singapura
Ternyata Raden Pamanah Rasalah yang memenangkan sayembara itu, sehingga ia  menikahi sang puteri yang bernama Nyai Subang Larang. Dari perkawinan ini lahirlah tiga orang anak yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan KIAN Santang (Raja Sangara). 

Setelah ibunya meninggal, Raden Walangsungsang pergi meninggalkan keraton, disusul kemudian oleh Nyai Lara Santang. Keduanya tinggal di rumah pendeta Budha, Ki Gedeng Danuwarsih yang memiliki seorang puteri cantik bernama Nyai Indang Geulis. Raden Walangsungsang kemudian menikahi puteri pendeta ini dan setelah itu mereka pergi berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi. Raden Walangsungsang diberi nama baru yaitu Ki Samadullah, dan kelak sepulang dari tanah suci diganti nama menjadi Haji Abdullah Iman.  Setelah tamat belajar di pesantren Syekh Datuk Kahfi, Raden Walangsungsang dianjurkan oleh gurunya untuk membuka daerah baru yang diberi nama Tegal Alang-alang atau Kebon Pesisir, di mana tinggal paman Nyai Indang Geulis.

Raden Walangsungsang alias Ki Samadullah berhasil menarik para pendatang. Daerah Tegal Alang-alang berkembang dan banyak didatangi oleh orang-orang Sunda,
Jawa, Arab, dan Cina, sehingga disebutlah daerah ini “Caruban” artinya campuran. Di tempat ini bukan hanya berbagai etnis bercampur, agama juga bercampur. Misalnya saja, Ki Gedeng Danusela yang beragama Budha sebagai “kuwu” bercampur dengan Raden Walangsungsang yang beragama Islam sebagai “pangraksabumi” yaitu pejabat yang mengurusi pertanian dan perikanan, sehingga ia digelari Ki Cakrabumi.

Atas saran gurunya, Raden Walangsungsang pergi ke tanah suci bersama adiknya, Nyai Lara Santang, karena Nyai Indang Geulis sedang hamil tua. Di tanah suci inilah, Nyi Lara Santang menikah dengan Maulana Sultan Muhamad, bergelar Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim putra Nurul Alim. Suami Nyai Lara Santang ini adalah anak penguasa Kota Ismailiyah dekat  wilayah Palestina sekarang, yang menjadi bawahan Mesir. Nyai Lara Santang pun diganti namanya menjadi Syarifah Mudaim. Dari perkawinan ini lahirlah Syarif Hidayatullah pada tahun 1448 M yang kelak menjadi Sunan Gunung Jati. Dilihat dari genealogi dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari,  Syarif Hidayatullah yang nantinya menjadi salah seorang dari Wali sanga, menduduki generasi ke-22 dari Nabi Muhammad. Selang 2 tahun kemudian lahir adiknya yang bernama Syarif Nurullah pada tahun 1450 M,

Setelah perkawinan adiknya, Ki Samadullah yang bergelar Haji Abdullah Iman memutuskan kembali ke Jawa dengan maksud mengembangkan agama Islam di tanah leluhurnya. Setibanya di tanah air, ia mendirikan Masjid Jalagrahan, dan kemudian mem-buat rumah besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Di sanalah ia meneruskan tugasnya sebagai pembantu Ki Danusela, Kuwu Caruban. Setelah Ki Danusela meninggal, Ki Samadullah diangkat menjadi Kuwu Caruban dan digelari Pangeran Cakrabuana
 Pakuwuan Caruban kemudian ditingkatkan menjadi Nagari Caruban Larang. Dengan demikian Pangeran Cakrabuana menjadi penguasan nagari yang juga merangkap ulama. Selanjutnya ia mendapat gelar dari ayahandanya, Prabu Siliwangi, sebagai Sri Mangana. Selanjutnya diceritakan  bahwa Syarif Hidayatullah yang dibesarkan di negara ayahnya, setelah berusia 20 tahun pergi berguru kepada beberapa ulama di Mekah dan Bagdad selama beberapa tahun. Setelah itu ia kembali ke negeri ayahandanya. Ketika ayahnya meninggal dunia, ia diminta menggantikan posisi ayahnya, tetapi permintaan itu ditolaknya. Bahkan dimintanya adiknya yang bernama Nurullah, menggantikan dirinya. Ia sendiri memilih untuk pergi ke Jawa guna menyebarkan agama Islam. Tokoh Syarif Nurullah ini, dalam salah satu sumber disebutkan bahwa beliau merantau ke negeri tetangga Indonesia yaitu Malaysia untuk menyebarkan agama Islam yang sekarang menjadi kerajaan Kelantang.

Dalam perjalanannya ke Jawa, Syarif Hidayatullah singgah di Gujarat selama beberapa waktu, kemudian singgah pula di Pasai dan tinggal di rumah seorang ulama bernama Syarif Ishak. Setelah beberapa lama, Syarif Hidayatullah meneruskan perjalanannya dan singgah di Banten yang waktu itu penduduknya ada yang sudah beragama Islam, berkat syiar yang dilakukan Sunan Ampel. Syarif Hidayatullah merasa sangat tertarik untuk belajar kepada wali yang berasal dari Jawa Timur ini. Ketika Sunan

Ampel pulang, Syarif Hidayatullah ikut pergi ke Ampel dan tinggal di sana untuk memperdalam soal syiar Islam dari Sunan Ampel. Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya yang tergabung dalam Wali Sanga, Syarif Hidayatullah diminta untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Pergilah ia ke Caruban Larang dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana.

Syarif Hidayatullah tiba di pelabuhan Muara Jati kemudian terus ke Desa Sembung-Pasambangan, dekat Giri Amparan Jati, pada tahun 1470 M. Di sana ia mengajar agama Islam menggantikan Syekh Datuk Kahfi yang telah meninggal dunia. Perlahan-lahan ia menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat yang menganggapnya sebagai orang asing dari Arab. Ia kemudian digelari Syeh Maulana Jati atau Syeh Jati.
Syarif Hidayatullah mengajar juga di Dukuh Babadan. Di sana ia menemukan jodohnya dengan Nyai Babadan puteri Ki Gedeng Babadan pada tahun 1471 M. Tidak lama kemudian pada tahun 1477 M isterinya sakit dan meninggal dunia  ( dari sumber buku Cerita Purwaka Caruban Nagari  beliau tidak dikaruniai putra namun dari sumber lain buku Kerajaan Cerbon 1479-1568 M tulisan Rd.H. Unang Sunardjo, SH mempunyai dua anak yaitu Pangeran Trusmi dan Ratu Martasari).

Syarif Hidayatullah kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam di sana. Ternyata Bupati Kawunganten yang keturunan Pajajaran sangat tertarik, sehingga ia masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperisteri. Terjadilah pernikahan pada tahun 1475 M dan memiliki seorang putra dan seorang putri yaitu Ratu Winaon lahir tahun 1477 M dan Pangeran Sabakingkin lahir tahun 1479 M yang kelak dikenal sebagai Maulana Hasanudin pendiri Kerajaan Banten.

Syarif Hidayatullah kemudian menikah lagi dengan Nyi Mas Pakungwati puteri Pangeran Cakrabuana pada tahun 1478 M. Jadi ini merupakan pernikahan dengan saudara sepupu sendiri. Dari perkawinan ini beliau tidak dikaruniai keturunan.Nyi Mas Pakungwati yang cantik meninggal saat berusaha membantu memadamkan api yang melalap Masjid Sang Ciptarasa tahun 1549 M.

Sementara itu Pangeran Cakrabuana meminta agar Syarif Hidayatullah menggantikan kedudukannya dan Syarif Hidayatullah pun kembali lagi ke Caruban. Pada tahun 1479 M beliau dinobatkan oleh uwaknya sebagai kepala nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban (Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awliya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah Saw.). penobatan ini merupakan pengumuman dewan Wali Sanga kepada ulama dan mubalig se pulau jawa. Sedangkan Pangeran Cakrabuana mengemban sebagai Manggala Yudha dengan gelar Gagak Lumayung.

Pada tahun 1481 M beliau menikah dengan Ong Tien Nio. Ong Tien Nio diberi gelar Ratu Mas Rara Sumanding atau Ratu Petis yang hingga ajalnya tahun 1485 M beliau mengasuh putra Adipati Luragung yaitu Pangeran Aria Kemuning yang kelak menjadi pendiri kota Kuningan.

Pada tahun 1484 M, beliau menikah  dengan Nyi Rara Baghdad adik Pangeran Panjunan, putri Maulana Abdullrahman Al-Baghdadi, dari perkawinan ini  mendapatkan 2 orang anak. Yang pertama adalah Pangeran Jayakelana lahir tahun 1486 M, yang menikah dengan keluarga Demak, putri Raden Patah yang bernama Ratu Pembayun. Sementara putra kedua, Pangeran Bratakelana lahir tahun 1489 , juga menikah dengan anak Raden Patah yang lain, yakni Ratu Nyawa. Yang setelah kematiannya dalam pertarungan melawan bajak laut sepulang dari Demak, kemudian diperistri oleh saudaranya, Pangeran Pasarean.

Tahun 1490, beliau menikah dengan  Nyi Ageng Tepasari, Putri Ki Ageng Tepasan, salah seorang pembesar Majapahit yang telah menjadi keluarga Demak setalah Majapahit runtuh. Seorang perempuan yang dinikahinya di Demak, bersamaan dengan kedatangannya dalam pembangunan Masjid Demak. Dan inilah konon awal dari hubungan kekeluargaan antara Demak dan Cirebon mulai terjalin. Dari pernikahannya beliau  mendapatkan 2 orang anak, yakni Pangeran Moh Arifin (Pasarean) lahir tahun 1495 M dan Ratu Wulung Ayu lahir tahun 1511 M.

Dan hubungan makin terjalin erat dengan Demak, karena Ratu Wulung Ayu pun menikah dengan Pati Unus yang kemudian menjadi raja Demak kedua menggantikan ayahnya, Raden Patah. Sementara Pangeran Pasarean juga menjalin hubungan keluarga dengan Demak, karen menikai putri Raden Patah yang lain, Ratu Nyawa, yang sebelumnya adalah janda dari Pangeran Bratakelana, anak Syarif Hidayatullah dengan Nyi Rara Baghdad. Jadi pahamlah, mengapa Demak dan Cirebon mempunyai hubungan dekat. Yang pertama tentu karena kesamaan kedudukannya. Demak adalah penerus dari takhta Majapahit yang telah hancur, dan Cirebon yang  adalah penerus dari takhta Pajajaran yang telah runtuh. Raden Patah adalah keturunan dari Kertabumi, raja Majapahit terakhir, sementara Sunan Gunung Jati adalah cucu dari Prabu Siliwangi, raja Pajajaran terakhir.

Pada tahun 1528 pangeran walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana wafat, dan semenjak itu Syarif Hidayatullah menyerahkan pemerintahan kepada anaknya yaitu Pangeran Moh Arifin (Pangeran Paserean) , sedang beliau mandeg pandito berkeliling dalam aktifitasnya dakwahnya, beliau mewakilkan seluruh kegiatan politik dan pemerintahannya kepada Faletehan.

Pada tahun 1568 hari Jum’at Kliwon tengah malam Syarif Hidayatullah wafat dalam usia 120 tahun. Masa kejayaan pemerintahannya dibangun selama 89 tahun, antara 1479 M – 1568 M. selama itu beliau tampil sebagai pemimpin tertinggi dalam  pemerintahan dan politik, juga sebagai Panatagama yang dalam struktur birokrasi keraton jawa bergelar Senopati Ing Ngalaga.

Beliau juga sebagai pemimpin spiritual dengan gelar Sayidin Penatagama yang secara ringkas di Cirebon disebut Pandita Ratu atau Raja Pandita yang bertugas membela integritas hokum, mengontrol sumber kesaktian dan penyalur inspirasi Ilahiyah yang disebarkan kepada masyarakat.

Begituh sekilas cerita sejarah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang tidak semua informasi dari sumber tulisan masuk dalam tulisan ini, semoga tulisan ini menjadi pembanding/pelengkap cerita sejarah Sunan Gunung Jati sebelumya. Wallahu ‘alam Bissawab.

       

Cerita Celancang, Pangkalan, dan Cangkring

 ANTARA CELANCANG DAN CANGKRING
… Cinarita hana ta prasadha tunggang prawata Ngamparan Jati/ yawat ta ratrikala ring kadhohan murub katinghalan kadi linthang kang tejamaya// Kunang iking prasadha palinggannya/ pasisk Muhara Jati ikang mangadegna yata baladika Cina Wa Heng Ping ngaranira lawan Sang Laksamana Te Ho sabalanya kang sahanira tan ketung/ irika ta ring// Pasambangan ing lampakhira umareng Majapahit mandeg sawatara ing Muara Jati/ ri huwuska tamolah ing Pasambangan desa/ magawe karya ring Sang Juru Labuhan tan masowe panatara ning akara// Pitung rahina kulem/ ri huwus ika prasadha tinuku dheng sira Ki Juru Labuhan yeka kang dumadi Mangkubumi makanama Jumajan Jati/ tinukar lawan uyah/ trasi/ beras tuton/ grabadan// Lawan kayu jati/ umangkat ring Jawa Wetan tumuli/ sampunya kabeh pepek sjro ning prahwanka/…
Antara Celancang dan cangkring bisa ditempuh dengan angkutan umum jurusan Celancang Plered, dulu hanya bisa ditempu dengan lalu lintas air, yaitu bengawan bondet. Saat itu lalu lintas bengawan bondet termasuk ramai, hilir mudik, lalu lalang kapal besar dan kecil hingga ke bengawan cawang Cangkring. Diceritakan oleh Pangeran Arya Carbon tahun 1720 dalam bukunya yang berjudul Purwaka Caruban Nagari bahwa di Amparan jati telah berlabuh lebih dari seratus perahu besar dari Cina dibawah pimpinan Laksamana Cheng Hwa atau Te Ho dengan membawa sekitar 27.800 orang prajurit. Yang bermaksud membeli perbekalan yang sudah habis, seperti air dan berbagai bahan makanan sebagai bekal di perjalanan ke kerajaan Majapahit jawa Timur. Selama tujuh hari di Amparan jati Laksamana Cheng Hwa mendirikan mercusuar sebagai menara pengawas bagi kapal dan perahu, juga merupakan tengara, bahwa akan datang sebuah perubahan zaman, yakni masuknya kapal-kapal asing dan agama Islam.
Keberadaan Amparan Jati sebagai sebuah pelabuhan besar tercatat pula dalam “Suma Oriental” karya Tome Pires (1513 diterjemahkan oleh Armando Cortesao pada tahun 1944). Pires menyebutkan, Pelabuhan Cerimon/Cheroboan merupakan pelabuhan yang ramai. Di situ setiap waktu ada empat atau lima jung (perahu) berlabuh, terbanyak dari jenis lanchara (sejenis perahu yang jalannya sangat cepat). Yang dapat berlayar hingga 15 km ke hulu sungai. Pelabuhan itu bisa menampung lebih dari 1.000 orang, beras, dan berbagai jenis bahan makanan merupakan komoditas yang diperdagangkan. Selain dari itu diperdagangkan pula kayu, yang kualitasnya terbaik di seluruh Pulau Jawa.

Hal tersebut berdampak pada Nagari Singapura yang terletak kira-kira 2 km sebelah utara Amparan Jati menjadi daerah yang ramai , Sekarang situsnya ada di Celancang Kabupaten Cirebon. Sisa-sisa istananya yang masih ada hingga sekarang adalah gerbang istana, yang oleh masyarakat setempat disebut Lawang Gede.
Bengawan Bondet yang termasuk wilayah Nagari Singapura masa itu banyak disinggahi kapal besar dan kecil, kapal dagang yang datang dari negeri lain seperti negeri Cina, Arab, Persia, India, Malaka, Tumasik, Madura, Makasar, dan Palembang, Kapal-kapal yang berukuran kecil berlabuh hingga ke bengawan cawang Cangkring, sedangkan kapal yang berukuran lebih besar, kapal tersebut di clancang di bengawan Bondet. Peristiwa tersebut oleh masyarakat setempat diabadikan menjadi nama perkampungan yang tak jauh dari sungai tersebut, yaitu diberi nama Celangcang, sedangkan sebagian kapal yang ukurannya tidak begitu besar biasa dimangkalkan di bengawan cawang Cangkring, karena seringnya/banyaknya perahu/kapal yang mangkal didaerah tersebut maka oleh masyarakat disebut Pangkalan. Pangkalan dulunya masuk wilayah desa Cangkring, namun pada tahun 1985 daerah pangkalan menjadi sebuah desa tersendiri.
Jadi antara Celancang dan Cangkring dahulu merupakan lalu lintas air yang ramai, sekarang, kapal/ perahu tidak bisa nyampai ke pangkalan karena tahun 2011 di Sambeng dibangun bendungan karet, sehingga aktifitas perahu hanya sampai di situ. Begitulah sekilas antara Celancang dan Cangkring yang tidak semua informasi dari sumber primer maupun skunder masuk dalam tulisan ini, semoga tulisan ini menjadi pembanding/pelengkap cerita masyarakat cangkring dan Celancang.
Wallahu ‘alam Bissawab.