Translate

Rabu, 18 September 2013

SEJARAH RS GUNUNG JATI


SEJARAH RUMAH SAKIT GUNUNG JATI
(dari berbagai sumber)

Bila anda kebetulan lewat di jalan Kesambi nomor 56 kota Cirebon, akan terlihat berdiri bangunan-bangunan yang kokoh seperti gedung-gedung di Negara Kincir Angin hingga sekarang masih terlihat kokoh masih terpelihara dengan baik , namun belum diketahui siapa arsitek yang merancang bangunan  yang berdiri di area seluas 6,4 hektar tersebut. Yang jelas bangunan tersebut merupakan bukti sejarah peninggalan pemerintah colonial Belanda.

Menurut sumber data RSUD Gunung Jati kota Cirebon, Pada awal abad XX, Cirebon adalah  kota yang jorok dan dilecehkan. Keadaan Cirebon tidak teratur, kotor, becek, penuh lumpur dan comberan, serta tidak mempunyai saluran pembuangan air limbah rumah tangga. Keadaan ini menjadi  semakin buruk dengan adanya “Kali Bacin”  yang dipenuhi tumpukan kotoran yang telah terendam air asin dan menaburkan aroma yang tidak sedap. Penunumpukan kotoran tersebut disebabkan  kelancaran aliran air sungai sangat tergantung pada pasang-surut air laut. Ketika laut pasang, sampah dan kotoran yang telah terendam air laut masuk ke dalam sungai dan kemudian menumpuk tebal di muara sungai. Akibatnya, setiap tahun ketika musim hujan Cirebon selalu terkena banjir dengan ketinggian mencapai sekitar satu meter.

Gemeente Cirebon membuat kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk mengubah kondisi dan citra kota Cirebon itu. Gemeente Cirebon dengan semboyan “per aspera ad astra” yang tertera di dalam  lambangnya memberikan petunjuk arah kebijakan pembangunan kota Cirebon pada masa awal abad XX. Semboyan itu mengandung sebuah semangat untuk membangun kota dalam mencapai kemakmuran.  “Per aspera ad astradiartikan sebagai “dari duri onak dan rawa-rawa menuju bintang”. Gemeente Cirebon bermaksud untuk mengubah keadaan kota yang semula dipenuhi semak berduri dan rawa-rawa, Cirebon yang terbelakang dan belum berkembang, menuju sebuah keadaan menyerupai bintang, suatu titik cahaya yang menarik pandangan.

Upaya-upaya yang dilakukan oleh Gemeente Cirebon adalah memperbaiki dan membangun prasarana yang dapat mengubah kondisi fisik dan citra Kota Cirebon. Jenis-­jenis prasarana sosial yang dibangun meliputi pengadaan prasarana air bersih, prasarana kesehatan, dan  penerangan jalan.   Upaya-upaya untuk   menciptakan   kebersihan kota
dilakukan oleh Gemeente Cirebon secara simultan melalui pembuatan saluran air, penghilangan genangan air limbah dan hujan, pembuangan sampah dan kotoran,  pembuatan kakus dan pemandian umum. Kegiatan-kegiatan itu juga berkaitan dengan upaya Gemeente Cirebon dalam pemberantasan penyakit malaria.  Kali Bacin yang dianggap sebagai salah satu sumber penyakit akibat bau tidak sedap yang menyengat dan membuat lingkungan menjadi kumuh ditutup pada 1917. Penutupan dilakukan melalui pengurugan dan area bekas Kali Bacin berubah menjadi jalan, gedung, dan pabrik rokok British-American-Tobacco-Comp. Untuk mendukung program di bidang kesehatan masyarakat, Gemeente Cirebon mendirikan Rumah Sakit Oranje.

                Pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Kota Cirebon, awalnya diajukan oleh Dewan Kota pada tahun 1919 dan kemudian pada tanggal 14 Maret 1920 dilaksanakan peletakan batu pertama pembangunan gedung rumah sakit yang terletak di Jalan Kesambi. Rumah sakit selesai dibangun dan diresmikan pada tanggal 31 Agustus 1921 oleh De Burgermeester Van Cheribon “J. H Johan”, sehingga tanggal 31 Agustus 1921  ditetapkan sebagai hari lahir RSUD Gunung Jati Kota Cirebon
Pembangunan rumah sakit pada waktu itu dinilai sangat mewah dan mahal, biayanya adalah  f.544.00,- (lima ratus empat puluh empat gulden) yang diperoleh dari Gemeente Van Cheribon ditambah dana dari pabrik gula sewilayah Cirebon serta dana para dermawan. Rumah sakit mulai berfungsi pada tanggal 1 September 1921 sebagai Gemeemtelijk  Ziekenhuis dengan nama “Oranje Ziekenhuis“, dibawah pimpinan dr. E. Gottlieb sebagai kepala rumah sakit yang pertama.

Rumah Sakit “ORANJE” pada saat itu mempunyai kapasitas 133 tempat tidur yang terdiri dari ruang direktur, ruang tata usaha, ruang portir, ruang apotek, ruang polikklinik, ruang laboratorium, ruang kamar bedah, ruang dapur, ruang cucian, ruang generator listrik, kamar mayat, ruang zuster-huis, ruang hooftzuster-huis, asrama putri, ruangan rawat  dengan kapasitas 133 tempat tidur yang terbagi menjadi 7 tempat tidur kelas 1, 16 tempat tidur kelas 2, 24 tempat tidur kelas 3, 56 tempat tidur kelas 4, 16 tempat tidur untuk penyakit setengah menular dan 16 tempat tidur untuk penyakit menular. Data mengenai perkembangan selanjutnya antara tahun 1922-1929 didapat dari buku peringatan 50 Tahun Kota Besar Tjirbon, yang mengutarakan perkembangan jumlah hari perawatan dari 4 macam kelas perawatan dari tahun 1922 sampai 1929.
   
Perkembangan selanjutnya antara tahun 1930 sampai dengan 1940 tidak banyak diketahui. Menjelang pendudukan Jepang ada perubahan baik bentuk fisik maupun susunan ruangan yang  disesuaikan  dengan  kebutuhan  dan  tingkat  perkembangan pada waktu itu, antara lain diadakannya kamar bersalin, kamar rontgen/fisioterapi, asrama siswa kesehatan dan ruang administrasi.

Pada tanggal 1 Maret 1942 seluruh rumah sakit beserta sarananya dievakuasi ke Rumah Sakit Sidawangi selama kurang lebih 2 minggu dan setelah kembali ke Kota
Cirebon pada tanggal 15 Maret 1942, nama rumah sakit diubah dari Rumah Sakit Oranje menjadi Rumah Sakit Kesambi.

Namun demikian pada perkembanganya pada tahun 1952 ada penambahan tempat tidur menjadi 250 tempat tidur. Yang terdiri dari kelas I, II, III, IVa dan IVb. Pada tanggal 8 Nopember 1975, nama rumah sakit diubah menjadi Rumah Sakit Gunung Jati Kelas D berdasarkan Surat Keputusan DPRD Kotamadya Daerah Tingkat II Cirebon Nomor : 30/DPRD/XI/75. Nama Gunung Jati sendiri diambil dari tokoh kharismatik Cirebon yang menyebarkan agama islam di Jawa Barat yaitu Syarif Hidayatullah yang lebih populer dengan nama Sunan Gunung Jati. 

Selanjutnya pada tanggal 22 Februari 1979 ditingkatkan menjadi Kelas C berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 41/MENKES/SK/II/79 dan pada tanggal 21 Januari 1987 ditingkatkan lagi menjadi Rumah Sakit Kelas B berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 41/MENKES /SK/I/87. Pada tanggal 30 Januari 1989 ditetapkan menjadi Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Kotamadya Daerah Tingkat II Cirebon Kelas B berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 061/350/SJ.

Dalam pengelolaan keuangan sejak tanggal 1 April 1996 dengan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Cirebon Nomor 15 Tahun 1995 ditetapkan sebagai “Unit Swadana Daerah”. Dalam upaya peningkatan pelayanan maka pada tahun 1997 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : YM 02.03.3.5.5237. RSUD Gunung Jati Kota Cirebon ditetapkan dengan status “Akreditasi Penuh”.   Pada tanggal 15 Februari 1998 berdasarkan rekomendasi dari Departemen Kesehatan melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan  Nomor : 153/MENKES/SK/II/1998, RSUD Gunung Jati Kota Cirebon ditetapkan menjadi “Rumah Sakit Kelas B Pendidikan”.  Peresmian sebagai Rumah Sakit Kelas B Pendidikan dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat tanggal 21 April 1999 berdasarkan Surat Keputusan Mendagri Nomor : 445.03-1023 tanggal 12 Nopember 1998 dengan Struktur Organisasi dan Tata Kerja RSUD Kelas B Pendidikan. 

Seiring dengan perubahan paradigma penyelenggaraan otonomi daerah maka berdasarkan Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor : 5 Tahun 2002, RSUD Gunung Jati Kota Cirebon ditetapkan sebagai Lembaga Teknis Daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Badan Layanan Umum (BLU) dan Keputusan Walikota Nomor 445/Kep 359-DPPKD/2009, RSUD Gunung Jati Kota Cirebon resmi ditetapkan sebagai rumah sakit dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) pada tanggal 14 Desember 2009. Pada tanggal 2 Agustus 2011, RSUD Gunung Jati Kota Cirebon dinyatakan LULUS dengan status akreditasi penuh 16 Kelompok Pelayanan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit dengan mendapatkan Sertifikat  KARS/SERF/40/VIII/2011 yang berlaku sampai dengan 2 Agustus 2014

Tentang perubahan yang terjadi dari segi fisik, yang paling mencolok adalah bagian atap termasuk genteng. Seluruhnya diganti dengan yang baru. Namun yang sampai sekarang belum diganti adalah pintu dan kaca. Pintu-pintu yang dibuat semuanya memiliki tinggi diatas 2 meter. Sementara kaca, dipasang secara berkotak-kotak. Hal itu tampak terlihat jelas saat menyaksikan di ruang jajaran Direktur. Hanya yang paling mendominasi dari komposisi bangunan rumah sakit adalah digunakannya kayu jati sebagai pelengkap ruangan-ruangan. Pada bagian depan, terdapat sebuah gapura begitu memasuki pintu utama rumah sakit.        Bentuknya pun sangat unik. Dibuat menjorok keluar dan terpasang dua buah tembok untuk menopang bagian atap yang terbuat dari kayu dan genteng. Berdasarkan asumsi yang paling tua di wilayah Cirebon, harus diakui RSUD Gunung Jati merupakan asset yang harus dijaga bersama.

Seharusnya karyawannya  harus bangga bekerja di RSUD Gunung Jati kota Cirebon serta harus mempunyai komitmen yang kuat terhadap profesi dan pengabdian serta harus merasa memilikinya agar visi dan misi RSUD Gunung Jati kota Cirebon tercapai ..
Sekedar untuk mengingatkan, nama dokter yang pernah memimpin RSUD Gunung Jati Kota Cirebon dari mulai pimpinan pertamanya yang berkebangsaan Belanda, sampai masa sekarang secara berurutan antara lain :
1.    Dr. Van Wessel
2.    Dr. Sugiono D Poesponegoro
3.    Dr. Fassen
4.    Dr. Moh Toha
5.    Dr. Soepardan MangoenKoesoemo
6.    Dr. H. A. Manaf
7.    Dr. Yazid Mashudi
8.    Dr. Abi Kusno
9.    Prof. Dr.Padma Hoedoyo
10. Dr. Ono Dewanoto, DSA
11. Dr. Sunarto Kartoatmojo
12. Dr. Fuad Muh Bavadal
13. Prof. Dr. H.  Ahmad Djojo Sugito, MHA Fics.
14. Dr. Sutantio Dibyo Subroto, DSA
15. Dr. Hj. Nina Sekartina, MHA
16. Drg. Yono Soepriyono, MARS
17. Drg. Heru Purwanto, MARS.

Senin, 10 Juni 2013

Cerita Sunan Gunung Jati





            SUNAN GUNUNG JATI (1479 M – 1568 M )
Dari sumber-sumber historiografi tradisional dapat dikemukakan ringkasan kisah tentang Sunan Gunung Jati , salah satunya yang banyak diambil dari tulisan Cerita Purwaka Caruban Nagari yang ditulis oleh Pangeran Arya Charbon tahun 1730 M. Beliau menulis berdasarkan tulisan paman beliau yaitu Pangeran Wangsakerta berjudul Negara Kretabhumi.

Dikisahkan Ki Gedeng Sedhang Kasih, sebagai kepala Nagari Surantaka, bawahan Kerajaan Galuh. Ki Gedeng Sedhang Kasih, yang merupakan adik Raja Galuh, Prabu Anggalarang, memiliki puteri bernama Nyai Ambet Kasih. Puterinya ini dinikahkan dengan Raden Pamanah Rasa, putra Prabu Anggalarang.
Sementara itu di Nagari Singapura, tetangga Nagari Surantaka, diadakan sayembara untuk mencari jodoh bagi putri Ki Gedeng Tapa, Mangkubumi Singapura
Ternyata Raden Pamanah Rasalah yang memenangkan sayembara itu, sehingga ia  menikahi sang puteri yang bernama Nyai Subang Larang. Dari perkawinan ini lahirlah tiga orang anak yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan KIAN Santang (Raja Sangara). 

Setelah ibunya meninggal, Raden Walangsungsang pergi meninggalkan keraton, disusul kemudian oleh Nyai Lara Santang. Keduanya tinggal di rumah pendeta Budha, Ki Gedeng Danuwarsih yang memiliki seorang puteri cantik bernama Nyai Indang Geulis. Raden Walangsungsang kemudian menikahi puteri pendeta ini dan setelah itu mereka pergi berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi. Raden Walangsungsang diberi nama baru yaitu Ki Samadullah, dan kelak sepulang dari tanah suci diganti nama menjadi Haji Abdullah Iman.  Setelah tamat belajar di pesantren Syekh Datuk Kahfi, Raden Walangsungsang dianjurkan oleh gurunya untuk membuka daerah baru yang diberi nama Tegal Alang-alang atau Kebon Pesisir, di mana tinggal paman Nyai Indang Geulis.

Raden Walangsungsang alias Ki Samadullah berhasil menarik para pendatang. Daerah Tegal Alang-alang berkembang dan banyak didatangi oleh orang-orang Sunda,
Jawa, Arab, dan Cina, sehingga disebutlah daerah ini “Caruban” artinya campuran. Di tempat ini bukan hanya berbagai etnis bercampur, agama juga bercampur. Misalnya saja, Ki Gedeng Danusela yang beragama Budha sebagai “kuwu” bercampur dengan Raden Walangsungsang yang beragama Islam sebagai “pangraksabumi” yaitu pejabat yang mengurusi pertanian dan perikanan, sehingga ia digelari Ki Cakrabumi.

Atas saran gurunya, Raden Walangsungsang pergi ke tanah suci bersama adiknya, Nyai Lara Santang, karena Nyai Indang Geulis sedang hamil tua. Di tanah suci inilah, Nyi Lara Santang menikah dengan Maulana Sultan Muhamad, bergelar Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim putra Nurul Alim. Suami Nyai Lara Santang ini adalah anak penguasa Kota Ismailiyah dekat  wilayah Palestina sekarang, yang menjadi bawahan Mesir. Nyai Lara Santang pun diganti namanya menjadi Syarifah Mudaim. Dari perkawinan ini lahirlah Syarif Hidayatullah pada tahun 1448 M yang kelak menjadi Sunan Gunung Jati. Dilihat dari genealogi dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari,  Syarif Hidayatullah yang nantinya menjadi salah seorang dari Wali sanga, menduduki generasi ke-22 dari Nabi Muhammad. Selang 2 tahun kemudian lahir adiknya yang bernama Syarif Nurullah pada tahun 1450 M,

Setelah perkawinan adiknya, Ki Samadullah yang bergelar Haji Abdullah Iman memutuskan kembali ke Jawa dengan maksud mengembangkan agama Islam di tanah leluhurnya. Setibanya di tanah air, ia mendirikan Masjid Jalagrahan, dan kemudian mem-buat rumah besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Di sanalah ia meneruskan tugasnya sebagai pembantu Ki Danusela, Kuwu Caruban. Setelah Ki Danusela meninggal, Ki Samadullah diangkat menjadi Kuwu Caruban dan digelari Pangeran Cakrabuana
 Pakuwuan Caruban kemudian ditingkatkan menjadi Nagari Caruban Larang. Dengan demikian Pangeran Cakrabuana menjadi penguasan nagari yang juga merangkap ulama. Selanjutnya ia mendapat gelar dari ayahandanya, Prabu Siliwangi, sebagai Sri Mangana. Selanjutnya diceritakan  bahwa Syarif Hidayatullah yang dibesarkan di negara ayahnya, setelah berusia 20 tahun pergi berguru kepada beberapa ulama di Mekah dan Bagdad selama beberapa tahun. Setelah itu ia kembali ke negeri ayahandanya. Ketika ayahnya meninggal dunia, ia diminta menggantikan posisi ayahnya, tetapi permintaan itu ditolaknya. Bahkan dimintanya adiknya yang bernama Nurullah, menggantikan dirinya. Ia sendiri memilih untuk pergi ke Jawa guna menyebarkan agama Islam. Tokoh Syarif Nurullah ini, dalam salah satu sumber disebutkan bahwa beliau merantau ke negeri tetangga Indonesia yaitu Malaysia untuk menyebarkan agama Islam yang sekarang menjadi kerajaan Kelantang.

Dalam perjalanannya ke Jawa, Syarif Hidayatullah singgah di Gujarat selama beberapa waktu, kemudian singgah pula di Pasai dan tinggal di rumah seorang ulama bernama Syarif Ishak. Setelah beberapa lama, Syarif Hidayatullah meneruskan perjalanannya dan singgah di Banten yang waktu itu penduduknya ada yang sudah beragama Islam, berkat syiar yang dilakukan Sunan Ampel. Syarif Hidayatullah merasa sangat tertarik untuk belajar kepada wali yang berasal dari Jawa Timur ini. Ketika Sunan

Ampel pulang, Syarif Hidayatullah ikut pergi ke Ampel dan tinggal di sana untuk memperdalam soal syiar Islam dari Sunan Ampel. Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya yang tergabung dalam Wali Sanga, Syarif Hidayatullah diminta untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Pergilah ia ke Caruban Larang dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana.

Syarif Hidayatullah tiba di pelabuhan Muara Jati kemudian terus ke Desa Sembung-Pasambangan, dekat Giri Amparan Jati, pada tahun 1470 M. Di sana ia mengajar agama Islam menggantikan Syekh Datuk Kahfi yang telah meninggal dunia. Perlahan-lahan ia menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat yang menganggapnya sebagai orang asing dari Arab. Ia kemudian digelari Syeh Maulana Jati atau Syeh Jati.
Syarif Hidayatullah mengajar juga di Dukuh Babadan. Di sana ia menemukan jodohnya dengan Nyai Babadan puteri Ki Gedeng Babadan pada tahun 1471 M. Tidak lama kemudian pada tahun 1477 M isterinya sakit dan meninggal dunia  ( dari sumber buku Cerita Purwaka Caruban Nagari  beliau tidak dikaruniai putra namun dari sumber lain buku Kerajaan Cerbon 1479-1568 M tulisan Rd.H. Unang Sunardjo, SH mempunyai dua anak yaitu Pangeran Trusmi dan Ratu Martasari).

Syarif Hidayatullah kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam di sana. Ternyata Bupati Kawunganten yang keturunan Pajajaran sangat tertarik, sehingga ia masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperisteri. Terjadilah pernikahan pada tahun 1475 M dan memiliki seorang putra dan seorang putri yaitu Ratu Winaon lahir tahun 1477 M dan Pangeran Sabakingkin lahir tahun 1479 M yang kelak dikenal sebagai Maulana Hasanudin pendiri Kerajaan Banten.

Syarif Hidayatullah kemudian menikah lagi dengan Nyi Mas Pakungwati puteri Pangeran Cakrabuana pada tahun 1478 M. Jadi ini merupakan pernikahan dengan saudara sepupu sendiri. Dari perkawinan ini beliau tidak dikaruniai keturunan.Nyi Mas Pakungwati yang cantik meninggal saat berusaha membantu memadamkan api yang melalap Masjid Sang Ciptarasa tahun 1549 M.

Sementara itu Pangeran Cakrabuana meminta agar Syarif Hidayatullah menggantikan kedudukannya dan Syarif Hidayatullah pun kembali lagi ke Caruban. Pada tahun 1479 M beliau dinobatkan oleh uwaknya sebagai kepala nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban (Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awliya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah Saw.). penobatan ini merupakan pengumuman dewan Wali Sanga kepada ulama dan mubalig se pulau jawa. Sedangkan Pangeran Cakrabuana mengemban sebagai Manggala Yudha dengan gelar Gagak Lumayung.

Pada tahun 1481 M beliau menikah dengan Ong Tien Nio. Ong Tien Nio diberi gelar Ratu Mas Rara Sumanding atau Ratu Petis yang hingga ajalnya tahun 1485 M beliau mengasuh putra Adipati Luragung yaitu Pangeran Aria Kemuning yang kelak menjadi pendiri kota Kuningan.

Pada tahun 1484 M, beliau menikah  dengan Nyi Rara Baghdad adik Pangeran Panjunan, putri Maulana Abdullrahman Al-Baghdadi, dari perkawinan ini  mendapatkan 2 orang anak. Yang pertama adalah Pangeran Jayakelana lahir tahun 1486 M, yang menikah dengan keluarga Demak, putri Raden Patah yang bernama Ratu Pembayun. Sementara putra kedua, Pangeran Bratakelana lahir tahun 1489 , juga menikah dengan anak Raden Patah yang lain, yakni Ratu Nyawa. Yang setelah kematiannya dalam pertarungan melawan bajak laut sepulang dari Demak, kemudian diperistri oleh saudaranya, Pangeran Pasarean.

Tahun 1490, beliau menikah dengan  Nyi Ageng Tepasari, Putri Ki Ageng Tepasan, salah seorang pembesar Majapahit yang telah menjadi keluarga Demak setalah Majapahit runtuh. Seorang perempuan yang dinikahinya di Demak, bersamaan dengan kedatangannya dalam pembangunan Masjid Demak. Dan inilah konon awal dari hubungan kekeluargaan antara Demak dan Cirebon mulai terjalin. Dari pernikahannya beliau  mendapatkan 2 orang anak, yakni Pangeran Moh Arifin (Pasarean) lahir tahun 1495 M dan Ratu Wulung Ayu lahir tahun 1511 M.

Dan hubungan makin terjalin erat dengan Demak, karena Ratu Wulung Ayu pun menikah dengan Pati Unus yang kemudian menjadi raja Demak kedua menggantikan ayahnya, Raden Patah. Sementara Pangeran Pasarean juga menjalin hubungan keluarga dengan Demak, karen menikai putri Raden Patah yang lain, Ratu Nyawa, yang sebelumnya adalah janda dari Pangeran Bratakelana, anak Syarif Hidayatullah dengan Nyi Rara Baghdad. Jadi pahamlah, mengapa Demak dan Cirebon mempunyai hubungan dekat. Yang pertama tentu karena kesamaan kedudukannya. Demak adalah penerus dari takhta Majapahit yang telah hancur, dan Cirebon yang  adalah penerus dari takhta Pajajaran yang telah runtuh. Raden Patah adalah keturunan dari Kertabumi, raja Majapahit terakhir, sementara Sunan Gunung Jati adalah cucu dari Prabu Siliwangi, raja Pajajaran terakhir.

Pada tahun 1528 pangeran walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana wafat, dan semenjak itu Syarif Hidayatullah menyerahkan pemerintahan kepada anaknya yaitu Pangeran Moh Arifin (Pangeran Paserean) , sedang beliau mandeg pandito berkeliling dalam aktifitasnya dakwahnya, beliau mewakilkan seluruh kegiatan politik dan pemerintahannya kepada Faletehan.

Pada tahun 1568 hari Jum’at Kliwon tengah malam Syarif Hidayatullah wafat dalam usia 120 tahun. Masa kejayaan pemerintahannya dibangun selama 89 tahun, antara 1479 M – 1568 M. selama itu beliau tampil sebagai pemimpin tertinggi dalam  pemerintahan dan politik, juga sebagai Panatagama yang dalam struktur birokrasi keraton jawa bergelar Senopati Ing Ngalaga.

Beliau juga sebagai pemimpin spiritual dengan gelar Sayidin Penatagama yang secara ringkas di Cirebon disebut Pandita Ratu atau Raja Pandita yang bertugas membela integritas hokum, mengontrol sumber kesaktian dan penyalur inspirasi Ilahiyah yang disebarkan kepada masyarakat.

Begituh sekilas cerita sejarah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang tidak semua informasi dari sumber tulisan masuk dalam tulisan ini, semoga tulisan ini menjadi pembanding/pelengkap cerita sejarah Sunan Gunung Jati sebelumya. Wallahu ‘alam Bissawab.