SEJARAH RUMAH SAKIT GUNUNG JATI
(dari berbagai sumber)
Bila
anda kebetulan lewat di jalan Kesambi nomor 56 kota Cirebon, akan terlihat
berdiri bangunan-bangunan yang kokoh seperti gedung-gedung di Negara Kincir Angin
hingga sekarang masih terlihat kokoh masih terpelihara dengan baik , namun
belum diketahui siapa arsitek yang merancang bangunan yang berdiri di area seluas 6,4 hektar
tersebut. Yang jelas bangunan tersebut merupakan bukti sejarah peninggalan
pemerintah colonial Belanda.
Menurut
sumber data RSUD Gunung Jati kota Cirebon, Pada awal abad XX, Cirebon adalah kota yang jorok dan dilecehkan. Keadaan Cirebon tidak teratur, kotor,
becek, penuh lumpur dan comberan, serta tidak mempunyai saluran pembuangan air
limbah rumah tangga. Keadaan ini menjadi semakin
buruk dengan adanya “Kali Bacin” yang dipenuhi tumpukan kotoran yang telah terendam air
asin dan menaburkan aroma yang tidak sedap. Penunumpukan kotoran tersebut disebabkan kelancaran aliran air sungai sangat
tergantung pada pasang-surut air laut. Ketika laut pasang, sampah dan kotoran
yang telah terendam air laut masuk ke dalam sungai dan kemudian menumpuk tebal di muara sungai. Akibatnya, setiap tahun ketika
musim hujan Cirebon selalu terkena banjir dengan ketinggian mencapai sekitar
satu meter.
Gemeente Cirebon membuat kebijakan-kebijakan yang
bertujuan untuk mengubah kondisi dan citra kota Cirebon itu. Gemeente
Cirebon dengan semboyan “per aspera ad astra” yang tertera di dalam
lambangnya memberikan petunjuk arah kebijakan pembangunan kota Cirebon
pada masa awal abad XX. Semboyan itu mengandung sebuah semangat untuk membangun
kota dalam mencapai kemakmuran. “Per aspera ad astra” diartikan
sebagai “dari
duri onak dan rawa-rawa menuju bintang”. Gemeente Cirebon bermaksud
untuk mengubah keadaan kota yang semula dipenuhi semak berduri dan rawa-rawa,
Cirebon yang terbelakang dan belum berkembang, menuju sebuah keadaan menyerupai
bintang, suatu titik cahaya yang menarik pandangan.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh Gemeente Cirebon
adalah memperbaiki dan membangun prasarana yang dapat mengubah kondisi fisik
dan citra Kota Cirebon. Jenis-jenis prasarana
sosial yang dibangun meliputi pengadaan prasarana air bersih, prasarana
kesehatan, dan penerangan jalan. Upaya-upaya untuk menciptakan kebersihan kota
dilakukan oleh Gemeente Cirebon secara simultan melalui pembuatan
saluran air, penghilangan genangan air limbah dan hujan, pembuangan sampah dan
kotoran, pembuatan kakus dan pemandian umum. Kegiatan-kegiatan itu juga
berkaitan dengan upaya Gemeente Cirebon dalam pemberantasan penyakit
malaria. Kali Bacin yang dianggap sebagai salah satu sumber penyakit
akibat bau tidak sedap yang menyengat dan membuat lingkungan menjadi kumuh ditutup
pada 1917. Penutupan dilakukan melalui pengurugan dan area bekas Kali Bacin
berubah menjadi jalan, gedung, dan pabrik rokok British-American-Tobacco-Comp. Untuk mendukung program di bidang kesehatan masyarakat, Gemeente
Cirebon mendirikan Rumah Sakit Oranje.
Pembangunan
Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Kota Cirebon, awalnya diajukan oleh Dewan
Kota pada tahun 1919 dan kemudian pada tanggal 14 Maret 1920 dilaksanakan
peletakan batu pertama pembangunan gedung rumah sakit yang terletak di Jalan
Kesambi. Rumah sakit selesai dibangun dan diresmikan pada tanggal 31 Agustus
1921 oleh De Burgermeester Van Cheribon “J. H Johan”, sehingga
tanggal 31 Agustus 1921 ditetapkan sebagai hari lahir RSUD Gunung Jati
Kota Cirebon
Pembangunan rumah sakit pada waktu
itu dinilai sangat mewah dan mahal, biayanya adalah f.544.00,- (lima
ratus empat puluh empat gulden) yang diperoleh dari Gemeente Van Cheribon
ditambah dana dari pabrik gula sewilayah Cirebon serta dana para dermawan.
Rumah sakit mulai berfungsi pada tanggal 1 September 1921 sebagai Gemeemtelijk
Ziekenhuis dengan nama “Oranje Ziekenhuis“, dibawah pimpinan
dr. E. Gottlieb sebagai kepala rumah sakit yang pertama.
Rumah Sakit “ORANJE” pada saat itu mempunyai
kapasitas 133 tempat tidur yang terdiri dari ruang direktur, ruang tata usaha,
ruang portir, ruang apotek, ruang polikklinik, ruang laboratorium, ruang kamar
bedah, ruang dapur, ruang cucian, ruang generator listrik, kamar mayat, ruang zuster-huis,
ruang hooftzuster-huis, asrama putri, ruangan rawat dengan
kapasitas 133 tempat tidur yang terbagi menjadi 7 tempat tidur kelas 1, 16
tempat tidur kelas 2, 24 tempat tidur kelas 3, 56 tempat tidur kelas 4, 16
tempat tidur untuk penyakit setengah menular dan 16 tempat tidur untuk penyakit
menular. Data mengenai perkembangan selanjutnya antara tahun 1922-1929 didapat
dari buku peringatan 50 Tahun Kota Besar Tjirbon, yang mengutarakan
perkembangan jumlah hari perawatan dari 4 macam kelas perawatan dari tahun 1922
sampai 1929.
Perkembangan selanjutnya antara tahun 1930 sampai dengan
1940 tidak banyak diketahui. Menjelang pendudukan Jepang ada perubahan baik bentuk
fisik maupun susunan ruangan yang disesuaikan dengan
kebutuhan dan tingkat perkembangan pada waktu itu, antara
lain diadakannya kamar bersalin, kamar rontgen/fisioterapi, asrama siswa
kesehatan dan ruang administrasi.
Pada tanggal 1 Maret 1942 seluruh rumah sakit beserta
sarananya dievakuasi ke Rumah Sakit Sidawangi selama kurang lebih 2 minggu dan
setelah kembali ke Kota
Cirebon pada tanggal 15 Maret 1942, nama rumah sakit diubah dari Rumah
Sakit Oranje menjadi Rumah Sakit Kesambi.
Namun demikian pada perkembanganya pada tahun 1952 ada
penambahan tempat tidur menjadi 250 tempat tidur. Yang terdiri dari kelas I,
II, III, IVa dan IVb. Pada tanggal 8
Nopember 1975, nama rumah sakit diubah menjadi Rumah Sakit Gunung Jati Kelas D
berdasarkan Surat Keputusan DPRD Kotamadya Daerah Tingkat II Cirebon Nomor :
30/DPRD/XI/75. Nama Gunung Jati sendiri diambil dari tokoh kharismatik Cirebon
yang menyebarkan agama islam di Jawa Barat yaitu Syarif Hidayatullah yang
lebih populer dengan nama Sunan Gunung Jati.
Selanjutnya
pada tanggal 22 Februari 1979 ditingkatkan menjadi Kelas C berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 41/MENKES/SK/II/79 dan
pada tanggal 21 Januari 1987 ditingkatkan lagi menjadi Rumah Sakit Kelas B
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
41/MENKES /SK/I/87. Pada tanggal 30 Januari 1989 ditetapkan menjadi Rumah Sakit
Umum Daerah Gunung Jati Kotamadya Daerah Tingkat II Cirebon Kelas B berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 061/350/SJ.
Dalam
pengelolaan keuangan sejak tanggal 1 April 1996 dengan Peraturan Daerah
Kotamadya Daerah Tingkat II Cirebon Nomor 15 Tahun 1995 ditetapkan sebagai
“Unit Swadana Daerah”. Dalam upaya peningkatan pelayanan maka pada tahun 1997
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : YM 02.03.3.5.5237. RSUD Gunung
Jati Kota Cirebon ditetapkan dengan status “Akreditasi Penuh”. Pada
tanggal 15 Februari 1998 berdasarkan rekomendasi dari Departemen Kesehatan
melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 153/MENKES/SK/II/1998,
RSUD Gunung Jati Kota Cirebon ditetapkan menjadi “Rumah Sakit Kelas B
Pendidikan”. Peresmian sebagai Rumah Sakit Kelas B Pendidikan dilakukan
oleh Gubernur Jawa Barat tanggal 21 April 1999 berdasarkan Surat Keputusan
Mendagri Nomor : 445.03-1023 tanggal 12 Nopember 1998 dengan Struktur
Organisasi dan Tata Kerja RSUD Kelas B Pendidikan.
Seiring
dengan perubahan paradigma penyelenggaraan otonomi daerah maka berdasarkan
Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor : 5 Tahun 2002, RSUD Gunung Jati Kota
Cirebon ditetapkan sebagai Lembaga Teknis Daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Badan Layanan Umum (BLU) dan Keputusan Walikota Nomor 445/Kep
359-DPPKD/2009, RSUD Gunung Jati Kota Cirebon resmi ditetapkan sebagai rumah
sakit dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD)
pada tanggal 14 Desember 2009. Pada tanggal 2 Agustus 2011, RSUD Gunung Jati
Kota Cirebon dinyatakan LULUS dengan status akreditasi penuh 16 Kelompok
Pelayanan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit dengan mendapatkan
Sertifikat KARS/SERF/40/VIII/2011 yang berlaku sampai dengan 2 Agustus
2014
Tentang
perubahan yang terjadi dari segi fisik, yang paling mencolok adalah bagian atap
termasuk genteng. Seluruhnya diganti dengan yang baru. Namun yang sampai
sekarang belum diganti adalah pintu dan kaca. Pintu-pintu yang dibuat semuanya
memiliki tinggi diatas 2 meter. Sementara kaca, dipasang secara berkotak-kotak.
Hal itu tampak terlihat jelas saat menyaksikan di ruang jajaran Direktur. Hanya
yang paling mendominasi dari komposisi bangunan rumah sakit adalah digunakannya
kayu jati sebagai pelengkap ruangan-ruangan. Pada bagian depan, terdapat sebuah
gapura begitu memasuki pintu utama rumah sakit. Bentuknya pun sangat unik. Dibuat menjorok keluar dan
terpasang dua buah tembok untuk menopang bagian atap yang terbuat dari kayu dan
genteng. Berdasarkan asumsi yang paling tua di wilayah Cirebon, harus diakui
RSUD Gunung Jati merupakan asset yang harus dijaga bersama.
Seharusnya karyawannya harus bangga bekerja di RSUD Gunung Jati kota
Cirebon serta harus mempunyai komitmen yang kuat terhadap profesi dan
pengabdian serta harus merasa memilikinya agar visi dan misi RSUD Gunung Jati
kota Cirebon tercapai ..
Sekedar
untuk mengingatkan, nama dokter yang pernah memimpin RSUD Gunung Jati Kota
Cirebon dari mulai pimpinan pertamanya yang berkebangsaan Belanda, sampai masa
sekarang secara berurutan antara lain :
1.
Dr. Van Wessel
2.
Dr. Sugiono D Poesponegoro
3.
Dr. Fassen
4.
Dr. Moh Toha
5.
Dr. Soepardan MangoenKoesoemo
6.
Dr. H. A. Manaf
7.
Dr. Yazid Mashudi
8.
Dr. Abi Kusno
9.
Prof. Dr.Padma Hoedoyo
10. Dr. Ono Dewanoto, DSA
11. Dr. Sunarto Kartoatmojo
12. Dr. Fuad Muh Bavadal
13. Prof. Dr. H. Ahmad
Djojo Sugito, MHA Fics.
14. Dr. Sutantio Dibyo Subroto, DSA
15. Dr. Hj. Nina Sekartina, MHA
16. Drg. Yono Soepriyono, MARS
17. Drg. Heru Purwanto, MARS.